Teori Neoinstitusional dalam Memahami Reformasi Kebijakan Pemerintah
Dalam
menjalankan peran pemerintahannya, serangkaian kebijakan harus ditempuh oleh
pemerintah untuk bermain dalam mengamankan kepentingan nasionalnya. Kebijakan
pemerintah tersebut dapat dijabarkan dalam bentuk kebijakan internal dan
eksternal. Dalam kebijakan internal, pemerintah dapat menempuh jalan melalui
restrukturisasi badan kepemerintahan. Restrukturisasi kepemerintahan merupakan
konsep reformasi institusional yang mengakomodir sisi politik, sosial dan juga
ekonomi sehingga lebih mampu dalam menjawab fenomena hubungan internasional
yang kompleks dan dinamis (Wesley 2007: 5). Konsep tentang restrukturisasi
institusi inilah yang dibahas dalam teori institutional
reform.
Institutional reform merupakan
perkembangan teori institutional economic
yang diungkapkan oleh para pemikir lama seperti Thorstein Veblen
(1857-1929). Teori ini menekankan tentang peran aspek non ekonomi yang mampu
mengubah perilaku masyarakat. Sementara pemikir lain, seperti Weber, Schumpeter
dan Myrdal menekankan pada peran aktor/ wirausahawan dalam mengembangkan pasar.
Disisi lain, Commons, Coase dan North beranggapan bahwa institusi dan hukumnya
menjadi penentu utama dalam kemajuan ekonomi (Wesley 2007).
Teori
yang dirangkum sebagai neoinstitusional ini mulai dikenal sejak 1990-an. Jika
pada institutional lama mengarah pada kritik pendekatan neoklasik, maka neoinstitutional
justru memperkaya pandangan dari neoklasik. Teori ini melihat keterkaitan erat
antara kegiatan ekonomi dan hukum. Williamson (1998) membagi level institusi ke
dalam 4 lapisan. Lapisan pertama yakni kelembagaan yang hanya sebagai simbol
berupa institusi informal atau sosial. Lapisan kedua berupa lingkungan, lapisan
ketiga berupa pemerintahan, dan lapisan empat adalah sumber daya (Wesley 2007).
Daniel
Kaufman melihat peran penting dari reformasi institusi yang diperlukan oleh
negara berkembang untuk mendorong dan menstimulasi pembangunan ekonomi. Peran
dari institusi merupakan hal vital sehingga diperlukan reformasi untuk
menyesuaikannya dengan perkembangan kondisi pasar. Douglass North, memperkuat
argumen ini dengan konsep institusi yang didefinisikannya sebagai bentuk dari
stuktur yang didorong oleh keadaan sosial, politik dan ekonomi yang menentukan kegiatan
perekonomian negara. Karenanya, pemerintah menjadi insititusi utama yang
memainkan peran penting dengan kekuasaannya yang meliputi pemerintahan, hukum,
pasar, perusahaan dan birokrasi (Milo 2007: 19).
Reformasi
institusi ini terkadang juga dipahami secara berkebalikan. Jika satu sisi
memandang reformasi ekonomi menentukan perkembangan ekonomi, maka sisi lain
melihat perkembangan ekonomi yang mempengaruhi adanya reformasi ekonomi. Hal
ini dapat dijelaskan melalui hubungan kausalitas yang diawali dari perkembangan
ekonomi. Perubahan dari perkembangan ekonomi mampu merubah jalur perkembangan
institusi. Pertama diawali dari peningkatan kesejahteraan karena perkembangan
ekonomi meningkatkan tuntutan atas pembentukan institusi yang lebih
berkualitas. Kedua, peningkatan kesejahteraan juga lebih baik dalam membentuk
institusi yang lebih cakap. Ketiga, peningkatan kesejahteraan membentuk agen
perubahan yang menuntut institusi baru yang lebih baik (Chang 2011: 473–498).
Adanya
perdebatan hubungan kausalitas antara kedua aspek ini menjadi hal yang menarik.
Jika awalnya institutional reform
dipahami sebagai strategi, maka institutional
reform juga dipahami sebagai dampak. Namun, untuk menjawab kondisi yang
dinamis dalam ekonomi politik. Kedua perspektif ini dapat dipahami secara
beriringan. Dimana satu hal saling mempengaruhi satu sama lain. Reformasi
institusi dan perkembangan ekonomi menjadi tolok ukur berbeda dimana,
masing-masing aspek mengalami perubahan secara berkala karena pengaruh dari
aspek lain (Chang 2011: 473–498).
Pemahaman
mengenai reformasi institusi yang diperlukan penting untuk mencapai perubahan
positif. Jika dikaitkan dengan kondisi hubungan dalam ranah internasional,
kebebasan pasar dapat menjadi tolok ukur dari arah reformasi institusi. Apakah
institusi yang dibentuk guna mendukung liberalisasi atau justru menghalangi
proses liberalisasi (Chang 2011: 473–498). Liberalisasi sendiri dapat dilihat
dari ukuran tingkat kebijakan ekonomi yang terkait dengan kebebasan ekonomi.
Kebebasan ini dapat dilihat dari lima komponen utama, yakni :
(1)
ukuran kekuatan pemerintah,
(2)
sturktur dan penjaminan hak-hak hukum,
(3)
akses keuangan,
(4)
kebebasan dalam melakukan perdagangan internasional,
(5)
regulasi terkait buruh dan kegiatan bisnis (Milo 2010: 25).
Insitusi
pemerintah selanjutnya menjadi penentu dalam arah kebijakan dan kegiatan
perekonomian. Institusi pemerintah berperan dalam mendorong bagi para pelaku
kegiatan ekonomi swasta untuk aktif dalam perkembangan ekonomi. Dorongan
dilakukan melalui promosi pertumbuhan, pemberian insentif, serta membentuk
struktur yang stabil untuk mengakomodasi interaksi. Karena banyak mengarah pada
fungsi institusi sebagai pemerintahan, teori ini juga diasumsikan sebagai governance reform atau reformasi
kepemerintahan (Milo 2010: 24).
Secara
terkhusus, teori ini dapat dilihat dari karakteristik pemerintahan yang
melakukan inovasi kebijakan yang bertujuan untuk menghasilkan perubahan
fundamental pada fondasi institusi perekonomiannya. Karakteristik ini mencakup
serangkaian kebijakan yang ditentukan secara formal maupun informal yang
berkaitan dengan bagaimana individu dan perusahaan harus beroperasi. Dimana
dalam hal ini, pemerintah bahkan mampu menentukan dan mengubah arah kebijakan
beserta strateginya (Milo 2010: 25).