Agresi Militer Belanda I dan Agresi Militer Belanda II
Sepertinya, menguasai Indonesia selama 3,5 abad memang masih
belum cukup bagi Belanda. Karenanya, meski sempat dipukul mundur oleh Jepang
yang kemudian menguasai Indonesia selama 3,5 tahun, namun Belanda masih punya
keinginan untuk kembali menguasai Indonesia.
Maka, ketika Jepang dinyatakan kalah perang dan Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya, Belanda pun merasa tidak terima. Ia seolah masih merasa berhak
untuk kembali menguasai Indonesia.
Karenanya, Belanda pun datang kembali ke Indonesia dengan
membonceng sekutu yang kala itu datang untuk melucuti para tawanan Jepang di
Indonesia. Rakyat Indonesia yang mengatahui niatan Belanda untuk menguasai
kembali Indonesia pun marah.
Dengan segala upaya, baik melalui perlawanan fisik maupun
diplomasi, rakyat Indonesia berusaha untuk mempertahankan kemerdekaannya. Peperangan
fisik pun terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Perundingan Linggarjati
Untuk menghadapi Belanda, Indonesia pun juga melancarkan
berbagai perundingan dengan meminta bantuan atau dukungan dari negara lain dan
dunia internasional. Salah satu hasil dari upaya perundingan tersebut adalah
dihasilkannya perjanjian Linggarjati pada tangga 10 November 1946 di
Linggarjati, dekat Cirebon.
Isi perjanjian Linggarjati yang berhasil disimpulkan dari
perundingan tersebut adalah :
a. Belanda
mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia yang meliputi Jawa, Madura,
dan Sumatra.
b. Republik
Indonesia dan Belanda akan bekerja sama membentuk Negara Indonesia Serikat, bernama
Republik Indonesia Serikat (RIS), yang salah satu negara bagiannya adalah
Republik Indonesia.
c. RIS
dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia Belanda dengan Ratu Belanda sebagai
ketuanya.
Isi Perundingan Linggarjati ini pada dasarnya memang tidak
menguntungkan bagi bangsa Indonesia. Pasalnya, wilayah de facto Indonesia hanya
tiga pulau saja, yakni Jawa, Madura dan Sumatra.
Meski demikian, perundingan Linggarjati ini berhasil
mengundang simpati internasional. Hal ini dapat dilihat dari adanya pengakuan
kedaulatan Indonesia yang dari Inggris, Amerika Serikat, Lebanon, Afghanistan,
Myanmar, Suriah, Mesir, Yaman, Saudi Arabia, dan Uni Soviet.
Agresi Militer Belanda I (Tanggal 21 Juli 1947)
Memang telah disebutkan dengan jelas dalam isi perjanjian
Linggarjati bahwa Belanda mengakui negara Indonesia dengan tiga pulaunya secara
de facto. Akan tetapi, dalam perkembangannya, Belanda melanggar ketentuan
perundingan tersebut.
Hal ini dilakukan dengan dilancarkannya agresi militer I
pada tanggal 21 Juli 1947. Ya, tepat pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda
melancarkan aksi polisionil yang dikenal dengan sebutan agresi militer I.
Agresi Militer Belanda adalah serangan yang dilakukan oleh
pasukan Belanda untuk menghancurkan Republik Indonesia. Agresi ini sering
disebut sebagai “aksi polisionil” karena dianggap Belanda sebagai perang
melawan penjahat. Padahal, Belandalah yang justru menyerang masyarakat
Indonesia yang mendiami wilayahnya sendiri.
Tujuan agresi militer Belanda I ini adalah untuk menguasai
sarana-sarana vital di Jawa dan Madura. Padahal, wilayah Jawa dan Madura ini
bukan wilayah kekuasaan Belanda. Tujuan serangan ini jelas bersifat ekonomis
karena besarnya potensi alam dan ekonomi di wilayah tersebut.
Dalam agresi militer ini, pasukan Belanda bergerak dari
Jakarta dan Bandung untuk menduduki Jawa Barat. Mereka juga bergerak dari
Surabaya untuk menduduki Madura. Tentu masyarakat Indonesia tidak terima dengan
agresi militer ini.
Akibat agresi militer I ini, muncul pula berbagai reaksi
dari dunia internasional. Yang paling tampak adalah reaksi Amerika Serikat dan
Inggris yang negatif. Belanda pun tidak menyangka akan reaksi dari dua negara
besar ini.
Selanjutnya, Australia dan India pun ikut menunjukkan
simpatinya dan mengajukan masalah Indonesia ini ke Dewan Keamanan PBB. Dari
ajuan ini, pada tanggal 4 Agustus 1947, PBB mengeluarkan perintah untuk
penghentian tembak menembak yang terjadi di Indonesia ini.
Untuk mengawasi gencatan senjata ini, PBB membentuk Komisi
Tiga Negara (KTN). Anggota KTN ada tiga negara yang terdiri dari :
a. Belgia
(dipilih oleh Belanda) dipimpin oleh Paul van Zeeland;
b. Australia
(dipilih oleh Indonesia) dipimpin oleh Richard Kirby; dan
c. Amerika
Serikat (dipilih oleh Indonesia dan Belanda) dipimpin Dr. Frank Graham.
Tugas utama KTN atau Komisi Tiga Negara ini adalah untuk
mengawasi secara langsung penghentian tembak-menembak sesuai dengan Resolusi
Dewan Keamanan PBB. Dengan demikian, masalah yang dihadapi Indonesia ini menjadi
masalah internasional.
Secara diplomatis, kondisi ini jelas sangat menguntungkan
Indonesia. KTN pun selanjutnya berhasil mempertemukan Indonesia dengan Belanda
dalam Perjanjian Renville. Selain itu, KTN turut serta dalam membantu mengembalikan
para pemimpin Republik Indonesia yang ditawan Belanda di Bangka.
Perundingan Renville
Perundingan Renville merupakan perundingan yang diinisiasi
dari KTN yang terbentuk akibat agresi militer Belanda I. Perundingan Renville dilaksanakan
di atas Geladak Kapal Renville milik Amerika Serikat tanggal 17 Januari 1948.
Hasil dari perundingan Renville meliputi :
a. wilayah
Indonesia diakui berdasarkan garis demarkasi (garis van Mook),
b. Belanda
tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia sampai Republik Indonesia
Serikat terbentuk,
c. kedudukan
RIS dan Belanda sejajar dalam Uni Indonesia-Belanda,
d. RI
merupakan bagian dari RIS, dan
e. pasukan
RI yang berada di daerah kantong harus ditarik ke daerah RI.
Perundingan Renville memang masih memberatkan bagi
Indonesia. Dengan perundingan ini, wilayah Indonesia pun semakin sempit.
Daerah-daerah kantong di beberapa wilayah Jawa pun dikuasai oleh Belanda.
Agresi Militer Belanda II, (Tanggal 19 Desember 1948)
Yang lebih buruk lagi, nasib dan kelanjutan Perundingan
Renville ini ternyata relatif sama dengan Perundingan Linggarjati. Meski garis
batas wilayah dari kedua negara telah ditetapkan, namun Belanda kembali
melanggar perjanjian tersebut dengan melakukan agresi militer II tanggal 19
Desember 1948.
Tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan aksi
polisionil yang ke II, yang dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II. Dengan
agresi militernya ini, Belanda menduduki kota Yogyakarta.
Pendudukan Belanda ini diawali dengan penerjunan pasukan payung
di Lapangan Udara Maguwo. Belanda juga melakukan pengepungan serta
menghancurkan konsentrasi- konsentrasi TNI.
Melalui agresi keduanya ini, Belanda berhasil menduduki
Yogyakarta dan menangkap para pemimpin politik serta militer Indonesia. Namun,
meski para pemimpin politik ditangkap, pemerintahan Republik Indonesia tidak
berhenti.
Sebelum ditangkap Presiden Soekarno sempat memberikan mandat
melalui radiogram kepada Menteri Kemakmuran Mr. Syafruddin Prawiranegara.
Presiden memerintahkan untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
(PDRI) di Bukittinggi, Sumatra Barat.
Melalui pemerintahan darurat atau PDRI di Bukittinggi
inilah, pemerintahan Indonesia dapat tetap terus berjalan. PDRI berperan untuk
memberi instruksi kepada delegasi Indonesia di forum PBB untuk menerima
penghentian tembak-menembak.
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia ini pula yang
melakukan perundingan dengan Belanda. Hal ini dilakukan dalam rangka menarik
simpati dari dunia internasional. Selain itu, keberadaan PRRI ini juga menunjukkan
kepada dunia internasional bahwa pemerintahan RI masih berjalan meskipun para
pemimpin politik ditawan oleh Belanda.
Ada yang menarik dari Agresi Militer Belanda II yang
dilakukan di Yogyakarta ini. Yakni, meskipun para pemimpin RI ditangkap, namun Belanda
tidak menangkap Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Belanda khawatir
apabila Sri Sultan Hamengku Buwono IX, yang merupakan Raja Jogja ini ditangkap,
maka dapat membangkitkan perlawanan rakyat Yogyakarta dengan lebih kuat
sehingga mereka pun khawatir akan kewalahan.
Baca juga: Sistem Tanam Paksa yang Terjadi di Indonesia
Konferensi Asia di New Delhi
Karena lagi-lagi Belanda melanggar perjanjiannya, maka dunia
internasional pun kembali bereaksi. Kali ini, Indonesia mendapat bantuan dari
diselenggarakannya Konferensi Asia di New Delhi.
Konferensi Asia di New Delhi ini di selenggarakan pada
tanggal 20 - 25 Januari 1949. Dalam konferensi New Delhi ini, hadir 19 negara
termasuk utusan dari Mesir, Italia, dan New Zealand. Hasil konferensi New Delhi
meliputi:
a. pengembalian
Pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta,
b. pembentukan
pemerintahan ad interim sebelum tanggal 15 Maret 1949,
c. penarikan
tentara Belanda dari seluruh wilayah Indonesia, dan
d. penyerahan
kedaulatan kepada Pemerintah Indonesia Serikat paling lambat tanggal 1 Januari
1950.
Menanggapi hasil dari rekomendasi Konferensi New Delhi ini,
maka Dewan Keamanan PBB mengeluarkan sebuah resolusi tanggal 28 Januari 1949.
Isi dari resolusi dari Dewan Keamanan PBB ini isinya:
a. penghentian
operasi militer dan gerilya,
b. pembebasan
tahanan politik Indonesia oleh Belanda,
c. pemerintah
RI kembali ke Yogyakarta, dan
d. akan
diadakan perundingan secepatnya.
Dampak dari Konferensi Asia di New Delhi ini tentu sangat
jelas. Indonesia semakin mendapat simpati dan dukungan internasional dalam
perjuangannya mempertahankan kemerdekaan dari ancaman Belanda.
Peran Para Diplomat Pejuang dari Indonesia
Agresi Militer Belanda ini memang menimbulkan reaksi yang
cukup keras dari Amerika Serikat dan Inggris, bahkan juga PBB. Hal ini tak
lepas dari peran para diplomat Indonesia yang begitu handal.
Para pejuang diplomat atau diplomat pejuang ini mampu dengan
baik menjelaskan realita yang dihadapi Indonesia di hadapan PBB. Karena
mengerti akan situasi inilah, Indonesia bisa mendapat simpati internasional.
Salah satu diplomat pejuang yang terkenal akan keahliannya
dalam berkomunikasi atau berdiplomasi ini adalah L.N. Palar. Selain itu,
beberapa diplomat handal lain pun juga turut berperan besar dalam suksesnya
diplomasi ini.
Karena kehebatan dan perannya dalam melancarkan perundingan
–perundingan Indonesia ini, maka sejarah diplomasi di Indonesia mengenal
istilah “pejuang diplomat” atau “diplomat pejuang” sebagai julukan yang
diberikan pada mereka.
Julukan pejuang diplomat atau diplomat pejuang ini diberikan
kepada L.N. Palar, Mohammad Hatta, H. Agus Salim, Roeslan Abdul Gani, Sutan
Syahrir, Mohammad Roem, Adam Malik, dan Soedjatmoko.
Para pejuang diplomat ini pun berhasil meyakinkan PBB untuk memperluas
kewenangan KTN. Komisi Tiga Negara ini kemudian diubah menjadi UNCI dengan
kewenangan yang lebih luas untuk membantu menyelesaikan masalah Indonesia ini.
Pembentukan UNCI ini tak lepas dari reaksi terhadap Agresi Militer Belanda II.
UNCI kependekan dari United Nations Commission for
Indonesia. UNCI beroperasi dengan dipimpin oleh Merle Cochran (Amerika Serikat)
dibantu Critchley (Australia) dan Harremans (Belgia).